Girls' Generation Girls' Generation Girls Generation Girls' Generations Girls' Generation Girls' Generation Girls' Generation Girls' Generation Girls' Generation Girls' Generation Girls' Generation


Google Search

We Heart It

Heart It

Jumat, 30 Maret 2012

Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah

Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAWW. Ini adalah sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu. Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam mengalami realita tersebut di atas.

Mazhab Syi’ah pun tidak terkecualikan dari realita ini. Pada masa hidupnya Imam Ali a.s., Imam Hasan a.s. dan Imam Husein a.s. tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mazhab Syi’ah. Setelah Imam Husein a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ali As-Sajjad a.s. sebagai imam keempat dan kelompok minoritas yang dikenal dengan sebutan “Kaisaniyah” menjadikan putra ketiga Imam Ali a.s. yang bernama Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini bahwa ia adalah Imam Mahdi a.s. yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia akan muncul kembali.

Setelah Imam Sajjad a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah mengakui Imam Baqir a.s., putranya sebagai imam Syi’ah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Syi’ah Zaidiyah.

Pasca syahadah Imam Baqir a.s., para pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., putranya sebagai imam keenam Syi’ah. Dan setelah Imam Shadiq a.s. syahid, para pengikut Syi’ah terpecah menjadi lima golongan:
a.  Mayoritas pengikut Syi’ah yang meyakini Imam Musa Al-Kazhim a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
b.  Kelompok kedua menjadikan putra sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syi’ah  yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Ismailiyah”.
c.  Kelompok ketiga menjadikan putranya yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Fathahiyah”.
d.  Kelompok keempat menjadikan putranya yang bernama Muhammad sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
e.  Kelompok kelima menganggap bahwa Imam Shadiq a.s. adalah imam Syi’ah terakhir dan tidak ada imam lagi sepeningalnya.

Setelah Imam Musa Al-Kazhim a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah meyakini Imam Ridha a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari mereka mengingkari imamahnya dan menjadikan Imam Kazhim a.s. sebagai imam Syi’ah terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Waqifiyah”.

Setelah Imam Ridha a.s. syahid hingga lahirnya Imam Mahdi a.s., di dalam tubuh Syi’ah tidak terjadi perpecahan yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan sendirinya. Seperti peristiwa Ja’far bin Imam Ali Al-Hadi a.s., saudara Imam Hasan Al-Askari a.s. yang mengaku dirinya sebagai imam Syi’ah setelah saudaranya syahid.
Semua kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.

a.Syi’ah Zaidiyah

Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali As-Sajjad a.s. Pada tahun 121 H., ia mengadakan pemberontakan terhadap Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umaiyah. Sebagian masyarakat berbai’at dengannya dan ketika terjadi peperangan di Kufah antara kelompoknya dan tentara penguasa, ia syahid. Ia dianggap sebagai imam Syi’ah yang kelima oleh para pengikutnya. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai imam Syi’ah. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan.
Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi’ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi’ah Zaidiyah.
Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.

b.Syi’ah Ismailiyah dan Aliran-aliran Cabangnya

Ø   Bathiniyah
Imam Shadiq a.s. mempunyai seorang putra sulung yang bernama Ismail. Ia meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup. Imam Shadiq a.s. mempersaksikan kepada seluruh khalayak bahwa putranya yang bernama Islma’il telah meninggal dunia. Ia pun telah mengundang gubernur Madinah kala itu untuk menjadi saksi bahwa putranya itu telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebagian orang meyakini bahwa ia tidak meninggal dunia. Ia ghaib dan akan muncul kembali. Ia adalah Imam Mahdi a.s. yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. Mereka meyakini bahwa persaksian Imam Shadiq a.s. di atas hanyalah sebuah taktik yang dilakukannya untuk mengelabuhi Manshur Dawaniqi karena khawatir ia akan membunuhnya.
Sebagian kelompok meyakini bahwa imamah adalah hak mutlak Ismail yang setelah kematiannya, hak itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad. Akan tetapi, sebagian kelompok yang lain meyakini bahwa meskipun Ismail telah meninggal dunia ketika ayahnya hidup, ia adalah imam yang harus ditaati. Setelah masanya berlalu, imamah itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad bin Ismail dan akan diteruskan oleh para anak cucunya.

Dua kelompok pertama telah punah ditelan masa. Kelompok ketiga hingga sekarang masih memiliki pengikut dan mengalami perpecahan internal juga.

Secara global, Ismailiyah memiliki ajaran-ajaran filsafat yang mirip dengan filsafat para penyembah bintang dan dicampuri oleh ajaran irfan India. Mereka meyakini bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah hukum hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang belum berhasil sampai kepada strata spiritual yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus melaksanakan hukum tersebut dengan praktik rutin sehari-hari.

Mereka juga meyakini bahwa hujjah Allah ada dua macam: nathiq (berbicara) dan shaamit (diam). Hujjah yang pertama adalah Rasulullah SAWW dan hujjah yang kedua adalah imam sebagai washinya.
Bumi ini tidak akan pernah kosong dari hujjah Allah, dan hujjah tersebut selalu berjumlah 7 orang. Ketika seorang nabi diutus, ia akan memiliki syari’at dan wilayah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh washi datang silih berganti untuk meneruskan ajarannya. Ketujuh washi tersebut memiliki kedudukan yang sama, yaitu kewashian kecuali washi terakhir. Ia memiliki tiga kedudukan sekaligus: kenabian, kewashian dan wilayah. Dan begitulah seterusnya, setelah washi ketujuh meninggal dunia, ia akan memiliki tujuh orang washi dan washinya yang ketujuh memiliki tiga kedudukan di atas sekaligus.

Menurut keyakinan mereka, Nabi Adam a.s. diutus dengan mengemban kenabian dan wilayah. Setelah meninggal dunia, ia memiliki tujuh orang washi. Washinya yang ketujuh adalah Nabi Nuh a.s. yang memiliki kedudukan kenabian, kewashian dan wilayah. Nabi Ibrahim a.s. adalah washi ketujuh Nabi Nuh a.s., Nabi Musa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Ibrahim a.s., Nabi Isa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Musa a.s., Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh Rasulullah SAWW (Imam Ali a.s., Imam Husein a.s., Imam Sajjad a.s., Imam Baqir a.s., Imam Shadiq a.s., Ismail dan Muhammad bin Ismail). Setelah Muhammad bin Ismail, terdapat tujuh orang washi yang nama dan identitas mereka tidak diketahui oleh siapa pun. Dan setelah masa tujuh orang washi tak dikenal itu berlalu, terdapat tujuh orang washi lagi. Mereka adalah tujuh raja pertama dinasti Fathimiyah di Mesir. Raja pertama adalah Ubaidillah Al-Mahdi.

Mereka juga meyakini bahwa di samping hujjah-hujjah Allah tersebut, terdapat dua belas orang nuqaba`. Mereka adalah para sahabat pilihan hujjah-hujjah Allah tersebut. Akan tetapi, sebagian aliran cabang Ismailiyah yang bernama Bathiniyah (Duruziyah) meyakini bahwa enam orang dari dua belas nuqaba` tersebut adalah para imam dan enam yang lainnya adalah selain imam.

Pada tahun 278 H., beberapa tahun sebelum Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika, seorang misterius yang berasal dari Khuzestan, Iran dan tidak pernah menyebutkan identitas dirinya muncul di Kufah. Di siang hari ia selalu berpuasa dan di malam hari ia selalu beribadah. Ia tidak pernah meminta bantuan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengajak masyarakat setempat untuk menganut mazhab Ismailiyah dan mereka menjawab ajakannya. Kemudian ia memilih dua belas orang di antara pengikutnya sebagai nuqaba`. Setelah itu, ia keluar dari Kufah untuk menuju ke Syam dan tidak lama kemudian ia
menghilang.

Setelah orang tak dikenal itu menghilang, ada seseorang yang bernama Ahmad dan dikenal dengan julukan Qirmith menggantikan kedudukannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Bathiniyah. Para sejarawan mengatakan bahwa ia menciptakan shalat baru sebagai ganti dari shalat lima waktu yang telah ditetapkan oleh Islam, menghapus mandi jenabah dan menghalalkan khamer. Para pemimpin Bathiniyah mengajak masyarakat untuk memberontak terhadap para penguasa waktu itu.

Para pengikut Bathiniyah ini menganggap halal darah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran Bathiniyah. Atas dasar keyakinan ini, mereka pernah mengadakan pembunuhan dan perampokan besar-besaran di Irak, Bahrain, Yaman dan kota-kota sekitar. Sering kali mereka merampok kafilah haji yang sedang menuju Makkah dan membunuh semua orang yang ada di kafilah tersebut.

Abu Thahir Al-Qirmithi, salah seorang pemimpin Bathiniyah menaklukkan Bashrah pada tahun 311 H. dan ia membunuh penduduk secara besar-besaran serta merampok semua harta yang mereka miliki. Pada tahun 317 H., ia bersama para pengikut Bathiniyah pergi ke Makkah dan setelah terjadi pertempuran kecil antara mereka dan pasukan keamanan pemerintahan setempat, mereka dapat mengalahkan pasukan tersebut dan berhasil memasuki kota suci Makkah. Begitu memasuki kota Makkah, semua jenis pembunuhan dan perampokan mereka lakukan. Masjidil Haram pun sudah tidak memiliki arti bagi mereka. Dari dalam masjid suci tersebut darah mengalir bak air mengalir di dalam parit. Kain penutup Ka’bah mereka robek-robek dan dibagikan di antara mereka sendiri. Tidak hanya sampai di situ, pintu Ka’bah mereka hancurkan dan Hajar Aswad mereka bawa ke Yaman. Hajar Aswad berada di tangan Qaramithah selama 22 tahun.

Karena perilaku mereka yang asusila dan menentang agama, mayoritas pengikut Bathiniyah yang lain menganggap kelompok ini telah keluar dari agama Islam. Ubaidillah Al-Mahdi sendiri yang waktu itu adalah khalifah pertama dinasti Fathimiyah di Mesir, pemimpin mazhab Ismailiyah dan menganggap dirinya adalah Imam Mahdi a.s. yang telah dijanjikan oleh hadis-hadis mutawatir, menyatakan tidak ikut campur tangan berkenaan dengan mazhab Qaramithah.

Ø   Nazzariyah dan Musta’liyah

Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika (tepatnya di Mesir) pada tahun 296 H. dan ia adalah pendiri dinasti Fathimiyah. Mazhab yang dianutnya adalah Syi’ah Ismailiyah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh orang dari keturunannya meneruskan dinastinya tanpa terjadi perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah. Perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah terjadi setelah raja ketujuh dinasti Fathimiyah, Mustanshir Billah Sa’d bin Ali meninggal dunia. Ia memiliki dua orang putra yang masing-masing bernama Nazzar dan Musta’li. Setelah ayah mereka meninggal dunia, terjadi persengketaan di antara kakak dan adik tersebut berkenaan dengan urusan khilafah. Setelah terjadi peperangan di antara mereka yang memakan banyak korban, Musta’li dapat mengalahkan Nazzar. Ia mengangkap Nazzar dan menghukumnya hingga ajal menjemputnya.

Setelah persengketaan tersebut, dinasti Fathimiyah yang bermazhab Ismailiyah terpecah menjadi dua golongan: Nazzariyah dann Musta’liyah.

Ø   Nazzariyah adalah para pengikut Hasan Ash-Shabaah, seseorang yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Mustanshir Billah. Setelah Mustanshir Billah meninggal dunia, ia diusir dari Mesir oleh Musta’li karena dukungannya terhadap Nazzar. Ia lari ke Iran, dan akhirnya muncul di benteng “Al-Maut” yang berada di sebuah daerah dekat kota Qazvin. Ia berhasil menaklukkan benteng tersebut dan benteng-benteng yang berada di sekitarnya. Kemudian, ia memerintah di situ. Sejak pertama kali memerintah, ia mengajak penduduk sekitar untuk menghidupkan kembali nama baik Nazzar dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Setelah Hasan Ash-Shabaah meninggal dunia pada tahun 518 H., Buzurg Oumid Rudbari menggantikan kedudukannya dan setalah ia meninggal dunia, putranya yang bernama Kiyaa Muhammad mengganti kedudukannya. Keduanya memerintah dengan mengikuti cara dan metode Hasan Ash-Shabaah. Sepeninggal Kiyaa Muhammad, putranya yang bernama Hasan Ali Dzikruhus Salam menggantikan kedudukannya. Ia menghapus semua cara dan ajaran Hasan Ash-Shabaah dan mengikuti ajaran-ajaran aliran Bathiniyah.

Hal ini terus berjalan lancar hingga Holaku Khan dari dinasti Mongol menyerang Iran. Ia berhasil menguasai semua benteng pertahanan mazhab Ismailiyah dan menyamaratakannya dengan tanah. Setelah peristiwa itu berlalu, Aqa Khan Mahallati yang bermazhab Nazzariyah memberontak terhadap Qajar Syah. Di sebuah pertempuran yang terjadi di Kerman, ia kalah dan melarikan diri ke Bombay, India. Setelah sampai di Bombay, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran Nazzariyah. Ajaran-ajarannya sampai sekarang masih diikuti oleh penduduk di sana. Dengan ini, aliran Nazzariyah juga dikenal dengan sebutan “Aqa-khaniyah”.

Ø   Musta’liyah adalah para pengikut Musta’li, salah seorang raja dinasti Fathimiyah yang pernah berkuasa di Mesir. Aliran ini akhirnya musnah pada tahun 557 H. Setelah beberapa tahun berlalu, sebuah aliran baru muncul di India yang bernama “Buhreh” (Buhreh adalah bahasa Gujarat yang berarti pedagang) dan meneruskan ajaran-ajaran Musta’liyah yang hingga sekarang masih memiliki pengikut.

Ø   Duruziyah
Pada mulanya Duruziyah adalah para pengikut setia para kahlifah dinasti Fathimiyah. Akan tetapi, ketika Khalifah keenam dinasti Fathimiyah memegang tampuk kekuasaan, atas ajakan Neshtegin Duruzi mereka memeluk aliran Bathiniyah. Mereka meyakini bahwa Al-Hakim Billah ghaib dan naik ke atas langit. Ia akan muncul kembali di tengah-tengah masyarakat.

Ø   Muqanni’iyah
Pada mulanya Muqanni’iyah adalah pengikut ‘Atha` Al-Marvi yang lebih dikenal dengan sebutan Muqanni’. Ia adalah salah seorang pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Setelah Abu Muslim meninggal dunia, ia mengaku bahwa ruhnya menjelma dalam dirinya. Tidak lama setelah itu, ia mengaku nabi dan kemudian mengaku dirinya Tuhan. Pada tahun 163 H., ia dikepung di benteng Kish yang berada di salah satu negara-negara Maa Wara`annahr. Karena yakin dirinya akan tertangkap dan akhirnya terbunuh, ia menyalakan api unggun lalu terjun ke dalamnya bersama beberapa orang pengikutnya. Para pengikutnya akhirnya menganut mazhab Ismailiyah yang beraliran faham Bathiniyah.

c.  Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah

Mayoritas Syi’ah adalah Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Seperti yang telah disinggung di atas, mazhab ini memisahkan diri dari mayoritas muslimin setelah Rasulullah SAWW meniggal dunia dikarenakan dua faktor urgen yang tidak diindahkan oleh mayoritas muslimin kala itu. Dua faktor urgen tersebut adalah imamah (kepemimpinan) dan kewajiban untuk merujuk kepada Ahlul Bayt a.s. dalam segala bidang ilmu pengetahuan.

Mereka meyakini bahwa Rasulullah SAWW adalah penutup semua nabi dan para imam a.s. tersebut --berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang disabdakan olehnya-- berjumlah dua belas orang, tidak lebih dan tidak kurang.

Mereka juga meyakini bahwa Al Quran mencakup semua hukum yang diperlukan oleh kehidupan manusia dan hukum-hukum tersebut tidak akan pernah mengalami perubahan dan renovasi. Bahkan hukum-hukum tersebut adalah kekal dan abadi hingga hari kiamat.

Dari sini dapat diketahui perbedaan mendasar antara Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Zaidiyah meyakini bahwa imamah bukanlah hak prerogatif Ahlul Bayt a.s. dan para imam tidak berjumlah dua belas orang serta mereka tidak mengikuti fiqih Ahlul Bayt a.s. Sementara, Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa para imam berjumlah tujuh orang, Rasulullah SAWW bukanlah penutup para nabi dan hukum-hukum syari’at bisa dirubah. Bahkan --menurut keyakinan Bathiniyah-- kewajiban manusia sebagai makhluk Allah (taklif) bisa dihapus total.

sumber : http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/3.htm

MAKALAH ILMU KALAM TENTANG ALIRAN MU’TAZILAH DALAM PANDANGAN ILMU KALAM

BAB I
PENDAHULUAN

Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah... Modernisasi pemikiran. Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan


BAB II
PEMBAHASAN

A. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

B. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah

Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

C. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah

Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".
Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu'tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.


BAB III
KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.


DAFTAR PUSTAKA

Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0

sumber : http://www.anakciremai.com/2009/04/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html
close
Tweet